Juni 05, 2013

Enam

Entah ini sudah keberapa kalinya aku menatap wajah mereka yang mau muntah. Muntah meluapkan segala caci maki. Bukan, bukan untukku. Namun, untuk orang yang ku pikir layak menjadi pemimpin dalam tatanan masa depan dan keluarga kecilku yang hangat. Mereka sahabatku dan tak ingin ku termenung dalam sepi. Sepi. Pertanyaanku yang tak kunjung kau jawab. Salamku yang tak kunjung kau sambut. Ini terdengar klise, namun sayangnya ini nyata. Kau menjadi asing setelah setelah aku menggambar begitu banyak sketsa masa depan kita berdua. Berdua, ya berdua. Itu pun jika kamu masih memiliki waktu untuk mengingat namaku. Begitu sibukkah kamu disana? Tenggelamkah kamu dalam tugasmu? Sisi baiknya, kau tetap setia kawan dan meluangkan waktu bersama sahabat-sahabat ksatriamu disana. Sedangkan aku? Tak peduli kau akan aku yang menunggu.

Aku tidak meminta semua waktumu. Aku tidak mendiktekan dengan siapa saja kamu boleh bersama. Aku hanya ingin tahu, apa namaku masih ada di siklusmu? Karena dalam sketsaku, namamu penuh di dalamnya dan menyesakkan. Mereka-sahabatku-dengan setia berusaha meracuniku, meyakinkanku bahwa kamu yang sekarang telah berbeda dengan kamu yang ada dalam sketsa masa depanku. Kita kini sudah terlalu jauh berbeda, kata mereka. Aku tahu itu. Sangat tahu. Sayangnya, aku hidup dalam kenangan. Dan seberapa lusuhnya sketsa masa depan kita, kenangan itu tetap hidup da menumbuhkan keyakinan bahwa sketsa kita masih bisa di daur ulang. Aku percaya segalanya akan kembali.

Well, halo? Jika mungkin kamu mendengar, aku yang bodoh ini masih duduk manis, menggenggam sketsa lusuh yang terus ku pertahankan. Tolong kabari, kapan kamu kembali siap untuk pulag dan merapikan sketsa kita berdua dan tak membiarkan aku berjuang sendirian. Then, I’ll be there to greet you warmly “Welcome home...”.

16 April 2013.