Entah ini sudah keberapa kalinya aku menatap wajah mereka
yang mau muntah. Muntah meluapkan segala caci maki. Bukan, bukan untukku.
Namun, untuk orang yang ku pikir layak menjadi pemimpin dalam tatanan masa
depan dan keluarga kecilku yang hangat. Mereka sahabatku dan tak ingin ku
termenung dalam sepi. Sepi. Pertanyaanku yang tak kunjung kau jawab. Salamku
yang tak kunjung kau sambut. Ini terdengar klise, namun sayangnya ini nyata.
Kau menjadi asing setelah setelah aku menggambar begitu banyak sketsa masa
depan kita berdua. Berdua, ya berdua. Itu pun jika kamu masih memiliki waktu
untuk mengingat namaku. Begitu sibukkah kamu disana? Tenggelamkah kamu dalam
tugasmu? Sisi baiknya, kau tetap setia kawan dan meluangkan waktu bersama
sahabat-sahabat ksatriamu disana. Sedangkan aku? Tak peduli kau akan aku yang
menunggu.
Aku tidak meminta semua waktumu. Aku tidak mendiktekan dengan
siapa saja kamu boleh bersama. Aku hanya ingin tahu, apa namaku masih ada di
siklusmu? Karena dalam sketsaku, namamu penuh di dalamnya dan menyesakkan.
Mereka-sahabatku-dengan setia berusaha meracuniku, meyakinkanku bahwa kamu yang
sekarang telah berbeda dengan kamu yang ada dalam sketsa masa depanku. Kita
kini sudah terlalu jauh berbeda, kata mereka. Aku tahu itu. Sangat tahu. Sayangnya,
aku hidup dalam kenangan. Dan seberapa lusuhnya sketsa masa depan kita,
kenangan itu tetap hidup da menumbuhkan keyakinan bahwa sketsa kita masih bisa
di daur ulang. Aku percaya segalanya akan kembali.
Well, halo? Jika mungkin kamu mendengar, aku yang bodoh ini
masih duduk manis, menggenggam sketsa lusuh yang terus ku pertahankan. Tolong
kabari, kapan kamu kembali siap untuk pulag dan merapikan sketsa kita berdua
dan tak membiarkan aku berjuang sendirian. Then, I’ll be there to greet you
warmly “Welcome home...”.
16 April 2013.
16 April 2013.