Coretan ini kutelisik lagi. Dalam masa yang bisa kusebut komplikasi dari
segala hal yang telah kurangkai. Hidup ini sulit ya. Apa yang baik tak akan
selamanya dapat dinamai baik. Mereka yang tak mengetahui segalanya itu ternyata
cerminan apa yang kau inginkan sebenarnya. Apa yang tak kau inginkan terjadi
pada dirinya akan malah terjadi. Lebih dahsyat. Aneh memang. Tapi itu hukum
alam ini. Angkuh akan kalah dan iri akan berbuah pahit. Aku tak menyesal karena
setidaknya diriku masih bisa mengendalikan polah anak kecil yang mereka punya.
Cih!. Mengaku berumur namun tingkahnya payah. Kasihan.
Semoga saat nanti tiba mereka akan menyadari betapa menahan segala sesuatu
itu tak merugikan dan mengendalikan diri sangat diperlukan.
Kembali melihat serpihan masa lalu. Memori yang sulit sekali untuk
dihilangkan. Payah!. Belum bisa merelakan dan masih saja berusaha tidak
menerima kenyataan bahwa telah ditemukan kenangan baru yang lain, yang mungkin
lebih bisa memperlakukan sesuai dengan yang ku harapkan pada masa lalu.
Psikopat. Memang ya. Aku rasakan. Tapi untuk apa berpura-pura? Aku memang belum
bisa bersikap layaknya orang normal lain yang bisa dengan mudah membuang isi
dan menukarnya dengan yang baru. Bahkan aku mungkin tak bisa menyeluruhkan
keluar. Masih ada poletan sisanya. Masih kental. Sulit dihilangkan, sekali
lagi. Itu yang kusadari. Bisa kau pikirkan? Gila? Ya.
Tulus. Aku bahkan terlalu menahan diri untuk bisa tampil sesempurna yang
belum pernah ia temukan. Apakah iya? Tekanan ini tak seberapa bagi makhluk yang
lantas disebut psycho seperti aku. Tak apa. Bangga? Tidak, bodoh. Dia sempurna,
seperti yang sering aku bayangkan di masa lalu. Aku dapat. Senang. Senang di
atas kepahitan yang dirasakan sebagian di masa lalu. Gila. Namun tak bisa ku
putar ulang segala yang telah berjalan. Waktu itu absurd. Semuanya semu. Sesemu
diriku saat ini yang bahkan aku sendiri sama sekali tidak mengenalinya. Aku terlalu
jauh melangkah dan meninggalkan kelurusan yang ku tempuh. Berarti sekarang simpangan
yang parah? Ah, ambigu. Bahkan mungkin hidupku lebih baik. Ya kelihatannya.
Bersama orang yang pantas dan ya, baik. Namun bukankah sering didendangkan
bahwa pencitraan harus dilihat dari sembarang tempat? Aku melihat hatiku.
Kacau.
Entahlah. Ini buruk kurasa. Menyakiti hatiku, hatinya, mereka, semua.
Berantakan!. Ingin ku hancurkan rajutan hidup yang awalnya kupilin hati-hati
ini. Tahu kenapa? Sekarang polanya sudah lebur bersama tawa dan air mata. Aku
bukan diriku. Menyesali keadaan? Wah tentu. Semua orang pasti ingin kembali dan
memperbaiki apa yang tak mereka optimalkan dahulu. Tapi kurasa ini sudah
terlalu sulit untuk dibenarkan. Dan itu artinya, hidup harus tetap berlanjut.
Harusnya tak ada lagi dongeng masa lalu yang senantiasa terngiang di masa-masa
aku sendiri. Harusnya aku lupa. Harusnya aku bersyukur. Harusnya aku tatap masa
depan. Harusnya ku pegang erat uluran tangannya. Harusnya aku sadar. Omong
kosong, psikopat! Lagumu indah untuk drama.