November 12, 2012

Tiga


Lemah. Kau tahu bagaimana air mata tumpah ruah? Menggenangi peliknya kenyataan yang mestinya kau terima, menyayat urat nadi, sesak, ingin mati. Ia terjadi lagi. Harusnya ku baca perkamen usang penuh sumpah serapah sang pemegang pena sejak masa sebelum sesal ini kian meruah. Persimpangan yang membuatku berdiam diri untuk jalinan waktu yang tak diucap sebentar. Laguku kembali ku dendangkan. Bukan untuk diriku saja sekarang. Bahkan tetesan penuh pilu sudah menyeberangi lautan luas sana. Tempatnya berada. Namun sayang, bukan padanya ku mengharu biru. Tidak tepat. Ya. Sosok yang lain harusnya. Ah, lemah. Habis itu sesal lagi. Bosan.
                                                                                         
Kisah disini. Aku lihat itu lagi. Kau sadar? Cih! Jenuh aku marah, namun kau tak pernah bisa menyela hati yang makin lama makin ingin menjauh ini. Jangan salahkan keadaan. Salahkan dirimu yang senantiasa memberi pengharapan. Bukan hanya padaku. Miris. Kau pikir kau siapa? Seenaknya berlaga obral harapan? Kau pikir ini pasar kasih sayang? Tidak cukupkah aku senantiasa mengingatmu dalam doaku? Masihkah kau ingin seseorang di masa lalumu yang jauh lebih lampau mengerti dirimu ketimbang aku?  Coba katakan. Jangan diam, namun berceloteh di belakang. Menyakitkan. Tak ada lagi makna rintik air mata yang jatuh karenamu. Semu. Semua tak akan berbekas. Biar aku yang rasakan sendiri. Dramamu, lanjutkan saja! Ingin aku tahu sampai mana kau sanggup bercerita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar