Lemah. Kau tahu bagaimana air mata tumpah ruah? Menggenangi peliknya
kenyataan yang mestinya kau terima, menyayat urat nadi, sesak, ingin mati. Ia
terjadi lagi. Harusnya ku baca perkamen usang penuh sumpah serapah sang
pemegang pena sejak masa sebelum sesal ini kian meruah. Persimpangan yang
membuatku berdiam diri untuk jalinan waktu yang tak diucap sebentar. Laguku
kembali ku dendangkan. Bukan untuk diriku saja sekarang. Bahkan tetesan penuh
pilu sudah menyeberangi lautan luas sana. Tempatnya berada. Namun sayang, bukan
padanya ku mengharu biru. Tidak tepat. Ya. Sosok yang lain harusnya. Ah, lemah.
Habis itu sesal lagi. Bosan.
Kisah disini. Aku lihat itu lagi. Kau sadar? Cih! Jenuh aku marah, namun kau tak pernah
bisa menyela hati yang makin lama makin ingin menjauh ini. Jangan salahkan
keadaan. Salahkan dirimu yang senantiasa memberi pengharapan. Bukan hanya
padaku. Miris. Kau pikir kau siapa? Seenaknya berlaga obral harapan? Kau pikir
ini pasar kasih sayang? Tidak cukupkah aku senantiasa mengingatmu dalam doaku?
Masihkah kau ingin seseorang di masa lalumu yang jauh lebih lampau mengerti
dirimu ketimbang aku? Coba katakan.
Jangan diam, namun berceloteh di belakang. Menyakitkan. Tak ada lagi makna
rintik air mata yang jatuh karenamu. Semu. Semua tak akan berbekas. Biar aku
yang rasakan sendiri. Dramamu, lanjutkan saja! Ingin aku tahu sampai mana kau
sanggup bercerita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar