Hi everybody in the house, how’s your life? Mine is fine,
thank you.
This is the sixth part of MRD Project. What’s that? The
answer is in my first post of MRD label in this blog. Okay, I’m very sorry
because of this super late post but I guarantee you that the story is still
quite interesting. Don’t you believe? Just try to read it until the last word
in this post. Happy reading fellas :)
“Kkkkaak.. Dddonoo…” Yila bergumam melihat tontonan yang ada
beberapa meter di hadapannya. Ada apa ini
sebenarnya. Yila tertegun, bingung sekaligus marah karena seakan ia menjadi
manusia yang paling tidak mengerti apa-apa di dunia ini. Akan tetapi, ia
menahan diri untuk tidak tenggelam dalam chaos
yang sedang terjadi. Ingatan-ingatan muncul satu persatu ke dalam benaknya.
Terlebih mengenai suatu hal yang dirahasiakan Resa dan hingga saat ini Yila
berpura-pura tidak tahu. Yila menghela nafas panjang. Entah mengapa ada butir
air mata menggantung di sudut matanya. Yila bergegas pergi.
Dono pun membawa Resa pergi ke tempat yang dirasa aman karena
jauh dari pria yang berkonflik dengan Resa. “Kak Dono?” Resa mengernyitkan dahi
ke arah sosok pria yang baru saja menggenggam tangannya. “Sorry Sa..” Dono
buru-buru melepaskan genggaman tangannya dari tangan Resa. “Tadi gue liat lo
sempet bertengkar dan cowok tadi agak kasar. Kemaren gue abis nonton film
tentang penculikan cewek untuk dijual gitu. Lagian tu cowok tampangnya udah
lumayan tua. Kayak om-om gitu. Jadi gue berasumsi kalo dia pasti bukan pacar
lo. Jadi kalian ga mungkin berantem sedahsyat gitu di tempat umum. Maaf banget
ya Sa” Dono menjelaskan kemudian menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak
gatal. “Iii..yaa.. Kak. Gue Cuma kaget aja Kak. Makasih ya anyway”. Resa masih
dalam kebingunan. Beberapa detik mereka gunakan untuk menikmati keheningan
karena merasa canggung akan situasi yang baru saja terjadi. “Emmm.. jadi, yang
tadi beneran om-om yang mau nyulik lo?” Dono memulai pembicaraan dengan
pertanyaan yang ia sendiri menyesal telah melontarkannya karena sama sekali
tidak penting, bahkan mungkin privasi Resa. Karena jika bukan privasi, Resa pasti
sudah menceritakannya tanpa diminta. “Ha ha ha.. bukan lah Kak. Lo terlalu
banyak nonton film deh nih kayaknya” Resa tergelak. Harus gue Tanya ga sih cowok tadi siapanya Resa. Tapi kesannya ntar gue
kepo. Dono berbicara dalam hati. Melihat Dono yang seperti sedang
memikirkan sesuatu, Resa melanjutkan “Dia
mantan pacar gue. Cinta monyet gue. Ngejar-ngejar terus sampe sekarang. Ga
capek apa ya. Gue juga heran”. “Hooo….”. Hanya ungkapan itu yang keluar dari
mulut Dono. “Dan sekarang kayaknya dia bakalan lebih capek deh Kak” ujar Resa. “Loh?
Kenapa?” Tanya Dono. “Lo sih ngaku-ngaku suka sama gue. Udah deh dia pasti
ngejar-ngejar lo juga” Resa tersenyum sambil membenarkan tali sepatunya. “Hah? Segitunya?
Lo pasti lagi becanda” Dono menggelengkan kepalanya. “We’ll see later, Kak.
Tapi prediksi gue sih gitu”. “Psycho…”
****
Di dalam bis menuju kos, Yila terlihat lesu. Kenapa tadi gue ga ngehampirin mereka aja ya
, jadi gue ga perlu dihantui sama rasa penasaran ini. Ah Yila pengecut.Yila
mengambil telepon genggamnya dari dalam tas, kemudian mencari nama di kontak
buku teleponnya dan berhenti di nama Resa. Yila menekan tombol ‘call’. Nada
sambung pun terdengar satu kali. Dua kali. Lalu buru-buru Yila menutup telepon
genggamnya. Yila bahkan terlalu takut untuk tahu kenyataan yang bahkan ia
sendiri tidak tahu benarnya. Tak lama kemudian, dering telepon genggam Yila
berbunyi. Dari Resa. Yila sekejap menarik nafas panjang lalu menjawab panggilan
Resa. “Ya Res?” “La, kenapa nelepon? Tadi gue lagi di toilet. Sorry..” “Engga,
gapapa, tadi mau ngajak makan bareng. Ada warung makan enak yang baru buka
deket kampus lho” Yila berbohong. “Oh, yaah, gue lagi ga di sekitar kampus nih,
lagi ada survey buat proyek divisi” Resa berbohong. Oke satu sama Sa, Yila menyandarkan kepala di kursi penumpang bis. “Yaaah
yaudah deh next time harus bisa ya. Lo selalu sibuk sama divisi lo nih.
Sekali-sekali jalan-jalan lagi yuk kita” Yila mencoba seakan kecewa padahal
kecewa yang dirasakan Yila terhadap sahabatnya lebih dalam ketimbang hanya
tidak bisa makan bersama. “Iya lagi sibuk-sibuknya nih La, gue kabarin kalo
luang ya nona..” “Okay….”
Yila menghela nafas. Entah apa yang terjadi saat ini. Haruskah ia tetap menyimpan pikiran yang positif atas kejadian yang terpampang jelas di depan matanya beberapa menit yang lalu. Yila membuka galeri handphonenya. Melihat fotonya bersama Resa. Beberapa foto dengan cara pengambilan yang sama, namun gaya berbeda. Ya, itu adalah saat mereka bosan mendengarkan kuliah dari seorang dosen tentang materi yang mereka tidak sukai, lalu mereka diam-diam berfoto, karena berfoto adalah salah satu cara bagi mereka untuk menghilangkan kepenatan. Lalu selanjutnya ada foto sesosok pria manis yang diambil secara candid. Pria itu sedang menikmati makan siangnya di kantin. Dono Djiwoseputro. Yila memilih opsi delete di handphonenya. Segera ia memasukkan handphonenya ke dalam tas dan memilih memenjamkan mata selama perjalanan pulang. Andai waktu bisa diputar ke masa lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar