Tak terasa langit sore mulai
berpendar, dari jingga perlahan mengelam. Waktu kini tlah sampai pada suatu
jeda yang mengaburkan segala yang tadinya tampak. Jengah ku tatap wajah di
cermin. Sudah jadi apa engkau wahai pengembara? Dapat apa engkau dari fananya
dunia? Kala ku teliti lagi, betapa semakin pintar kau berpura-pura
menyunggingkan senyum yang semestinya tak pantas kau tebarkan. Palsu. Kau
merasa lengkap padahal kau kosong. Kau merasa tinggi padahal tetap kau
terpuruk. Bahagiamu buatan. Lantas kau banggakan?
Ini hasil lagamu. Skenario yang
teramat rapi kau susun sampai detik ini bergulir. Ceritanya semakin menarik.
Biar kau luka, ini kau yang menorehnya. Sayatannya tipis tak terlihat. Namun
satu saat kau sentuh barangkali kau akan meringis. Pedih. Iya, kau yang buat.
Segalanya membingungkan, katamu.
Biar saja. Biar kau jera. Dan katanya manusia akan bahagia pada waktunya. Kau
kan sudah bahagia. Bahagia buatan-buatanmu itu. Pualam kian bersinar terpantul
cemerlang matamu. Tidakkah kau sadari? Semu atau tidak aku tak peduli. Kau yang
buat. Pengertian yang tak pernah ku pahami. Biarlah, biar kau yang jadi.
Lalu kini kau terseok, memohon
untuk jadi dirimu sendiri dan membual, menulis lagi cerita-cerita. Melanjutkan
skenario yang akhirmya alurnya tak manusiawi lagi. Lautan airmata yang kau
ciptakan lantas ingin kau surutkan? Ember penyesalanmu sudah berlubang. Tak
akan mampu alirannya kau hentikan hingga akhir jaman. Dan tak lagi pantas kau
besarkan volumenya dengan airmata yang tak ku ketahui buatan lagi atau bukan.
Kau pun berpura-pura lagi. Kaki jenjang
itu kau bawa melaju, namun tangan pun terulur ke belakang. Berharap ada yang
menggapai. Namun kau tak paham-paham. Tak ada gapaian yang kau harapkan. Ia
telah lebur bersama lautan airmatanya sendiri. Kau tengok sesekali ke belakang.
Kosong. Hitam. Lalu kau menangis lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar